music

Jumat, 10 Januari 2014

Tiada Hiburan, hujan menetes..

oleh : Rima Zalsabillah

       Hari begitu panas sehingga pakaian di depan halaman itu mengering dengan cepatnya. Asap begitu banyak keluar dri pabrik itu. "oh ya, itu kan pabrik yang lama, sudah tak terpakai!" kataku. Di sana banyak sekali orang yang tinggal untuk dijadikan rumah bagi para masyarakat yang tidak mampu. Terletak di dekat rumah pak Gubernur yang begitu megah dan elok, jika dilihat dekat, rumah itu mewah sekali. Tetapi lain halnya dengan orang yang tidak mampu itu, mereka terlihat seperti; orang yang sudah dicabik- cabik, mukanya begitu kusam dan kulitnya begitu hitam. Rumah mereka pun sudah tidak layak pakai karena temboknya sudah rusak dan bocor-bocor.
    Esoknya, aku ke sekolah dengan suasana yang indah, bersih, matahari bersahabat hari ini, dan anginpun bergurai riang menebarkan kesejuknnya.
"Hai heriah, Rini, dan Wafda" kataku, mereka kelihatan bergembira karena hari ini suara yang bising dan berdentang tidak kedengaran hari ini, yaitu suara anak-anak yang suka ribut di dalam kelas.
Hari mulai gelap, sinar matahari menghilang untuk sementara, aku pun pulang kerumah dan melewati pabrik yang lama itu, banyaknya orang seperti; semut-semut merah di dalam lubang yang saling berkerumun, terlalu banyak orang yang bekerja sebagai pemulung di rumah yang bolong- bolong itu dan salah satunya Bu Candirafa yang mengenalku.
Jam, menit, detik terus mengalami perubahan yan begitu cepat. Bu Candirafa dan anaknya pindah dari pabrik itu yang memang sudah ditutup oleh pemerintah.
***
Hujan turun membasahi semua tempat di negeri ini, udara dari luar menusuk kulit yang tipis hingga aku menggigil akibat hujan yang turun dengan derasnya. Malam membuatku gemetar terbayang keadaan Bu Candirafa, "bagaimana kabarnya dia?" (dengan suara tak bersemangat ) kataku.
tok..tok..tok..tok (suara pintu dari luar), kubuka pintu, rasanya senag sekali, gembira dan ceria aura wajahku. "apa kabarmu nak?" tanya Bu Candirafa. "Baik" jawabku. Bu Candirafa masuk kedalam rumahku dengan pakaian yang indah. Kami bahagia, canda-canda dari Bu Candirafa membuat kami geli dan tertawa terbahak-bahak.
          Ternyata Bu Candirafa mengadu nasibnya selama ini di kota Jakarta , sebuah Ibukota di Indonesia. Aku mengeluh atas kegelisahanku yang menumpuk di dalam otakku ini! aku ingin hiburan datang tapi bunga itu tidak dapat bergoyang karena saat ini musim gugur, meskipun hujan turun hari ini, bunga itu tak dapat bergoyang tetapi terputus dengan batangnya.
           Bu Candirafa akan menuju ke Kota ini, namun kabar dari Jakarta belum muncul juga. Dedaunan di pohon jambu mulai berjatuhan satu per satu , Biasanya Bu Candirafa pulang di musim gugur ini, apalagi orang-orang yang pernah tinggal di pabrik tua sudah berkumpul di rumah Pak Gubernur menunggu kedatangan Bu Candirafa. Liu..liu..sirine mobil ambulance berdenging. " Siapa yang sakit yah?" kataku heran, mobil ambulance itu berhenti tepat di depan rumah pak Gubernur dengan membawa jenazah sesosok wanita. Dia adalah Bu Candirafa yang meninggal ketika ingin pulang  ke kota ini tetapi malang dia kecelakaan saat berada di pejalanan.
            Musim gugur sudah berlalu beberapa hari yang lalu, hujan turun menghiasi kesedihan kami, kegelapan malam mengingatkan ku ketika hujan turun dan Bu Candirafa bercanda di rumahku. THE END

1 komentar: